Pages

Sabtu, 13 Oktober 2012

kasih sayang

Masih teringat akan cerita dari Ibu Rumiyani. Cerita yang tak akan pernah saya lupakan sampai kapanpun. Ibu rumiyani adalah dosen statistika di UII. Beliau bercerita ketika beliau mengisi materi pada kegiatan wajib universitas yang ditujukan untuk mahasiswa baru dan kebetulan saya ditugaskan untuk menemani adek-adek mahasiswa baru. Beliau bercerita tentang sebuah pohon Apel yang rela berkorban untuk seorang anak , cerita yang sederhana tetapi sangat menyentuh hati,  inilah ceritanya:
 
Kisah Sebuah Pohon Apel :


Dahulu kala, di sebuah padang hiduplah sebuah pohon apel yang rindang dan banyak buahnya. Setiap hari, ada seorang anak kecil yang senang bermain di bawah pohon tersebut. Ia memanjat pohon tersebut, duduk di atas batang yang besar dan kuat, makan apel dan bahkan tidur di bawah rindangnya pohon. Ia sangat mencintai pohon itu, demikian pula sebaliknya sang pohon. Ia tak pernah merasa keberatan saat si anak kecil bermain di sekitarnya. Ia bahkan seringkali mengajaknya bercanda dan bercerita.

Waktupun berlalu, si anak telah beranjak dewasa. Suatu hari ia mengunjungi pohon apel dengan wajah yang sedih.

"Apel, aku sedih," katanya.

"Mengapa kau sedih wahai anakku?"

"Aku tak punya mainan, aku ingin membeli mainan tapi aku tidak punya uang," katanya lagi.

Melihat si anak menangis, pohon apelpun iba. Dijatuhkannya beberapa buah apel dari tubuhnya. "Aku tak punya mainan untuk kuberikan padamu. Tetapi, kau bisa menjual apel-apel ini agar kau punya uang dan bisa membeli mainan," kata si pohon apel.

Bergegas dengan wajah bahagia dan penuh semangat, anak kecil itu memungut semua apel yang jatuh dan dijualnya ke pasar. Iapun berhasil membeli mainan yang didambakannya.

Sayangnya, ia tak pernah kembali... dan bersedihlah si pohon apel.


----

Si anak telah beranjak dewasa. Ia telah memiliki keluarga dan anak-anaknya. Suatu kali, ia lewat di padang. Dan pohon apel menyapanya, "hei, kemarilah. Ayo bermain denganku," katanya.

"Ah, aku tak punya waktu bermain denganmu. Aku punya anak dan keluarga yang harus kuberi makan dan tempat tinggal. Tetapi aku tak punya cukup uang untuk membeli rumah," keluhnya.

Tak tega melihat si anak yang tak punya rumah, pohon apelpun berkata, "Nak, aku tak bisa memberikanmu sebuah rumah. Tetapi, kau bisa memotong ranting-ranting kokohku ini. Bangunlah rumah dengan rantingku agar keluarga dan anak-anakmu tak lagi kedinginan, kehujanan dan kepanasan." kata si pohon apel.

Kegirangan mendengar ide pohon apel, si anak mengambil gergaji dan memotong ranting-ranting pohon apel dengan penuh semangat.

Sayangnya, ia tak kembali lagi... dan pohon apelpun bersedih.

---

Beberapa tahun kemudian, si anak kembali dengan wajah yang letih dan lesu.

"Hai, kemarilah. Ayo bermain denganku," sambut pohon apel kegirangan melihat si anak kembali.

"Tidak, aku tak punya waktu bermain denganmu. Aku sudah tua. Aku merasa jenuh. Aku ingin menghibur diriku dan berlayar di samudera luas. Bisakah kau memberikanku sebuah kapal yang besar?" tanya si anak.

"Hmm... aku tak bisa memberikanmu kapal yang besar. Tetapi, kau boleh memotong batang pohonku dan membuatnya menjadi kapal," kata pohon apel dengan tulus.

Demikianlah si anak memotong batang pohon apel yang besar. Mengubahnya menjadi kapal dan pergi berlayar. Ia meninggalkan pohon apel yang kini tinggal akar yang lemah.

Pohon apelpun bersedih dan berdoa agar si anak dapat kembali lagi.

---

Benar dugaan si pohon apel, suatu hari, si anak kembali mengunjunginya. Namun ia sudah sangat tua dan lemah. Ia terlihat sangat lelah.

"Hai nak, kemarilah. Aku sudah tak punya apa-apa yang bisa kuberikan padamu. Tak ada buah apel, tak ada ranting atau batang pohonku," katanya.

"Tidak, aku tak butuh apelmu. Gigiku tak lagi kuat untuk mengigitnya. Aku juga tak butuh rantingmu, tubuhku terlalu lemah untuk memanjatnya," kata si anak.

"Lalu apa yang kau butuhkan dariku? Buahku sudah kau ambil, rantingku sudah kuberikan, bahkan batangku sudah kau jadikan kapal. Kini aku tinggal akar yang lemah dan tua. Aku sudah tak berdaya," kata pohon apel.

Si anak kecil berlutut dan menangis di dekat akar tua itu. "Maafkan aku, aku telah membuatmu nyaris mati dan tak berdaya. Aku sudah merampas semua milikmu dan malah seringkali pergi meninggalkanmu. Kini, ijinkan aku berbaring di sampingmu. Aku terlalu lelah, dan aku hanya butuh sebuah tempat untuk beristirahat, terakhir kalinya."

"Kemarilah nak, aku akan memberikanmu tempat beristirahat yang tenang sepanjang sisa hidupmu..." kata pohon apel sambil tersenyum bijaksana.
---------------------------------------------------------------------------------------------
Setelah selesai bercerita, ibu dosen pun bertanya pada kami: “nak, kalian tahu siapa apel itu????”
kami menjawab : “kami tidak tahu bu"
“pohon itu adalah ibu,, ibu selalu ikhlas memberikan segala yg dimilikinya untuk kebahagiaan anak-anaknya, dan ibu tak pernah pamrih akan hal itu, hanya satu keinginan terbesar ibu, yaitu dia ingin selalu melihat anak-anaknya bahagia, ketika anak-anaknya jauh dengannya dia selalu berharap anak-anaknya kembali untuk menemuinya walau hanya sebentar” jawab ibu dosen
 
Ibu dosenpun bertanya kembali pada kami; “apa hari ini kalian sudah menelphon ibu? apa hari ini kalian sudah menanyakan kabar ibu???” 
Sontak saya tertegun dengan pertanyaan ibu dosen, air mata menetes di pipiku, saya merasa sangat egois.. saya merasa sangat berdosa pada ibu, semenjak saya kembali ke jogja saya belum pernah satu kali pun menelphon ibu. maafkan anakmu ini ibu.
setelah acara itu selesai saya langsung menelphon ibu dan bertanya kabar ibu. Ingin rasanya saya bilang “Ibu saya sangat sayang pd ibu”. tapi saya tak bisa mengatakannya, saya malu, saya takut.
Inilah saya, anak yang egois yang tak mau mengucapkan rasa sayangnya pada ibunya hanya karena “malu”
Pesanku untuk teman-teman yang sedang merantau: “telphonlah ibumu minimal satu pekan sekali, kalau belum  bisa,  dua  pekan sekali. Kalau masih belum bisa minimal satu bulan sekali. Jangan pernah menunggu ibumu yang menelphonmu dulu. Buatlah senang ibumu selagi kau masih diberi kesempatan bertemu ibumu di dunia ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar